Malam ini hanya jadi pengulangan dari malam-malam
sebelumnya, aku hanya tertunduk tak sanggup menatap mata nanar ayah yang
seolah-olah menghakimiku dan telingaku sudah kebal mendengar suara tangis ibu
yang tertahan tiap kali ayah membentakku. Suasana ini selalu membuat dadaku
sesak, lidahku kelu, telingaku kebal, mataku nanar, dan kepalaku tertunduk lesu
tapi tetap saja hati ini bagaikan baja yang sulit di tempa. Sifat keras
kepalaku yang diturunkan dari ayah yang membuat aku mati-matian mempertahankan
prinsipku.
“Sudah yang keberapa kali kamu menolak laki-laki yang
datang untuk menikahimu nak?!” suara tegas ayah memecah keheningan malam. Ada
sesuatu yang menusuk hatiku setiap mendengar ucapan yang sudah berulang-ulang
kali ayah lontarkan kepadaku.
“Jawabanku tetap sama yah, aku tidak akan mau dinikahkan
dengan lelaki yang jelas-jelas hanya melihatku dari fisik semata.” jawabku tak
kalah tegas.
“Tolong kamu jangan keras kepala nak, apa kata orang
nanti kalau kamu dikenal sebagai perempuan pemberi harapan palsu.” ibu yang
sedari tadi hanya menangis sekarang ikut berkomentar.
“Aku tidak peduli dengan anggapan orang bu, namaku sudah
terlalu jelek di masa lalu biarkan aku menanggungnya sampai akhir hayatku kalau
perlu.”
“Sudahlah lupakan semua masa lalumu itu nak, sekarang
kamu sudah memiliki semuanya, kamu cantik, pintar, sholeha, lulusan sarjana di
luar negeri, dan sekarang menjadi dokter. Apakah kamu masih terus terganjal
oleh masa lalumu yang orangpun sudah mulai melupakannya nak?” panjang lebar ibu
mengulang kata-kata yang sama seperti sebelum-sebelumnya.” Lalu laki-laki
seperti apa yang kamu inginkan?” tanya ibu mulai menyerah.
“Aku memang lebih beruntung diantara perempuan-perempuan
yang lain bu, aku juga sadar kalau bukan karena umurku yang sudah tidak muda
lagi, ayah dan ibupun tidak akan mendesakku seperti ini untuk cepat menikah.
Tapi aku punya hati bu, aku bisa merasakan laki-laki yang tulus mencintaiku
atau yang hanya melihatku dari kelebihan yang aku miliki sekarang. Aku hanya
ingin ayah dan ibu merestuiku dengan cara yang tulus juga, bukan semata-mata merestuiku
karena melihat kelebihan yang dimiliki laki-laki itu setara dengan apa yang aku
miliki.” sekuat tenaga aku menjelaskan panjang lebar sambil menatap mata ibu.
Mata perempuan yang mulai menua itu kini tidak lagi membulat, mendengar
penjelasanku mata itu memancarkan betapa dia mengerti apa yang dikatakan putri
semata wayangnya ini, kepalanya tertunduk, air matanya menetes membasahi pipi
dan hijabnya.
“Baiklah, ayah dan ibu akan mengikhlaskan apapun
keputusan kamu nak.” terbata-bata ibu mencoba mengatakan itu kepadaku sekaligus
untuk menutup ketegangan malam itu. Ayah yang sedari tadi hanya menghakimiku
dengan tatapannyapun seketika melemah.
Malam ini memang hanya menjadi pengulangan malam-malam
sebelumnya, tapi tidak seperti biasanya ini menjadi malam yang terberat
sekaligus melegakan bagiku, buru-buru aku memejamkan mata seraya berdoa dalam
hati “Alhamdulillah ya Allah telah Engkau permudah urusanku dengan cara Engkau
bukakan pintu hati kedua orang tuaku untuk menerima keputusanku. Pintaku hanya
satu permudahkan aku untuk bertemu dengan jodohku yang mencintaiku karenaMu ya
Rabb.” Semilir angin membawa butiran-butiran doaku melewati malam, menembus
dimensi waktu yang tak ada satupun yang tahu kapan doa itu akan dikabulkan oleh
Sang Maha Mengetahui.
***
Entah kenapa kenangan buruk di masa lalu itu tidak pernah
pergi dari ingatanku sampai sekarang, hanya ragaku dan sebagian memoriku yang
bisa melupakannya dengan cepat sampai aku bisa menatap masa depanku seperti
ini, menjadi seorang wanita dewasa yang penuh kepercayaan diri dan mewujudkan
cita-citaku menjadi seorang dokter. Dari luar aku memang terlihat nyaris
sempurna tapi tidak ada yang pernah tahu kalau aku punya masa lalu yang kelam. Masa
remajaku habis hanya untuk berhura-hura saja, menghamburkan harta milik kedua
orang tuaku, keluar malam pulang pagi dengan teman-temanku, dan kejadian yang
selalu menghantuiku sampai sekarang adalah aku hampir di setubuhi oleh temanku
sendiri tapi Allah masih sayang kepadaku, aku berusaha berontak dan melarikan
diri waktu itu, sehingga kehormatanku masih terjaga sampai detik ini. Bertahun-tahun
aku hanya bisa mengurung diri di rumah memendam trauma yang amat sangat
mendalam tapi orangtuaku tidak pernah lelah untuk membuatku kembali pulih
seperti dulu dan mengembalikan kepercayaan diriku untuk menatap masa depan. Dan
semua kejadian itu juga yang membuatku memutuskan untuk berhijab agar diriku
terjaga dari segala bentuk kejahatan.
Setiap mengingat kejadian itu aku hanya ingin menyendiri,
menenangkan hatiku, dan kembali belajar berdamai dengan masa laluku. Seperti
biasa aku duduk di bangku taman rumah sakit, memandangi langit sore, menghirup
wangi senja yang membuat hatiku damai yang seketika menjalar ke seluruh
tubuhku.
“Mba lagi meditasi ya?” tiba-tiba ada seorang laki-laki
yang duduk di sampingku, mencoba menebak apa yang sedang aku lakukan.
“Hmm iya mas, saya merasa tenang kalau duduk di sini.” jawabku
jujur
“Setiap orang memang punya cara berbeda untuk menenangkan
hatinya yang mencoba berdamai dengan masa lalu. Saya punya masa lalu yang kelam
mba tapi jika ada seseorang yang tulus mencintai dan bisa menerima saya apa
adanya, mungkin saat itu juga saya akan menikahinya hehehe.” Lelaki itu tertawa
seperti ingin melepaskan semua beban di hatinya, matanya menerawang kelangit,
wajahnya teduh, dan matanya memancarkan ketulusan. Mendengar kata-katanya
hatiku bergetar, laki-laki itu seperti tahu dan merasakan hal yang sama seperti
aku.
“Kalau ternyata seseorang itu punya masa lalu yang kelam
sama seperti dengan mas bagaimana?” tanyaku penasaran.
“Hehehe ya tidak apa-apa mba, toh mencintai seseorang itu
bukan hanya dari kelebihan yang di miliki tapi dari kekurangannya juga.” Dengan
tenang laki-laki yang terlihat sepantaran denganku itu menjelaskan sambil
tersenyum manis.
“Sepertinya saya sudah bicara ngawur sore ini, terima
kasih mba sudah mendengarkan curahan hati saya, cukup merasa tenang berada di
sini dengan mba hehehe.” Laki-laki itu pergi begitu saja meninggalkanku
sendirian sore itu dengan banyak tanda tanya di dalam hati “Kenapa dia
seolah-olah tahu apa yang aku rasakan saat ini? Dan kenapa hatiku bergetar
ketika dia menjawab pertanyaanku dengan begitu tulusnya?”. Sejak kejadian sore
itu, sesosok laki-laki yang tidak pernah aku kenal sebelumnya telah mencuri
hatiku, membuatku gelisah setiap malam karena memikirkannya, membayangkan wajahnya
yang tulus, dan merindukannya saat sore tiba.
***
Keringatku mengucur deras, jantungku berdegup kencang,
mataku was-was sesekali menengok ruang UGD di rumah sakit tempatku bekerja. Sekitar
satu jam yang lalu ada mobil ambulan yang datang, aku melihat dengan jelas
sosok yang di keluarkan dari mobil ambulan itu, sosok laki-laki yang tidak
asing buatku, dia meraung kesakitan sambil memegangi kaki kanannya yang
berlumuran darah. Aku tidak sempat bertanya oleh salah satu perawat karena
semuanya panik dan segera membawanya ke UGD tapi aku sangat yakin kalau laki-laki
itu adalah yang menghampiriku sore itu di taman, dadaku sesak memikirkan
kemungkinan buruk itu.
“Mas, bagaimana keadaan pasien di dalam? Lukanya serius?”
aku tidak bisa menyembunyikan muka panikku saat bertanya dengan salah satu
perawat yang baru keluar dari UGD.
“Oh dokter Sofi keluarga dari mas yang didalam? Kakinya
harus diamputasi dok.”
“Bukan, saya bukan keluarganya. Di amputasi?” aku mecoba
mengulang pertanyaan kalau-kalau aku salah dengar, tapi perawat itu
mengaggukkan kepalanya dengan tegas. Hatiku remuk mendengarnya, kepalaku
pusing, seketika badanku lemas tapi aku mencoba kuat untuk mengintip ke dalam
ruang UGD untuk melihat laki-laki itu. Aku menangis sejadi-jadinya ketika
ternyata dugaanku benar, laki-laki yang sedang terbaring lemah itu adalah laki-laki
yang telah mencuri hatiku.
***
Aku memutuskan untuk kembali keesokan harinya setelah
dilakukan operasi karena tidak mungkin dengan keadaan kritis aku menemuinya. Aku
memberanikan diri untuk masuk ke ruang UGD dan sepertinya laki-laki itu sedang
tertidur pulas dengan perban yang memenuhi kaki kanannya yang sekarang sudah
tidak lagi utuh. Sekuat tenaga aku menahan sesak didadaku tapi air mataku tidak
sanggup untuk menutupi semua rasa sedih ketika melihat dia terbaring lemah.
“Hmm mba yang waktu itu ya? Mba kenapa menangis?”
ternyata suara tangisanku membangunkan dia. Dengan wajahnya yang terlihat
menahan sakit dia tetap mencoba tersenyum kepadaku.
“Tidak apa-apa”, buru-buru aku menghapus air mataku. “Nama
saya Sofi mas.”
“Oh iya nama saya Reza mba, ternyata mba Sofi seorang
dokter ya.”
“Ah iya saya masih pakai seragam, iya saya dokter di
sini, bagaimana keadaan mas reza? Kenapa bisa seperti ini?”
“Ya seperti yang mba Sofi lihat, saya mengalami
kecelakaan dan kaki saya patah karena terlindas truk kemarin dan dokter sudah
mengamputasi kaki saya. Bertambah satu lagi kekurangan saya mba, kaki kanan
saya hilang hehe, seandainya ada yang mau menerima kekurangan saya...”
“Saya mau menerima kekurangan mas reza dan saya berjanji
akan menjadi pengganti kaki kanan mas Reza untuk selamanya.” Belum sempat Reza
meneruskan kata-katanya, aku dengan mantap mengutarakan perasaanku selama ini.
“Sudah terlalu lama saya menunggu seseorang yang dengan tulus dan sore itu ada
seorang laki-laki datang menghampiri saya, bercerita tentang hidupnya, sejak
sore itu juga wajahnya yang tulus bisa meluluhkan hati saya.” Reza hanya bisa
terdiam kaku menatapku, matanya berkaca-kaca saat aku berkata seperti itu.
“Mba Sofi serius berkata seperti itu? Mba Sofi mau
mendampingi saya selamanya dengan segala kekurangan yang saya miliki?” Reza
masih belum bisa menyembunyikan rasa kagetnya.
“Insya Allah mas dengan segala kekurangan yang saya miliki
juga.” Reza tidak bisa lagi membendung air mata bahagianya, dia menangis
sejadi-jadinya di hadapanku dan mengucapkan terima kasih.
Maha Suci Allah yang telah mengatur skenario kehidupan
hambanya, setelah berkali-kali aku menolak banyak pria yang ingin menikahiku,
pilihanku jatuh kepada Reza sesosok pria sederhana, langit senja yang langsung
menyaksikan betapa hatiku sangat tersentuh oleh kata-katanya yang tulus saat
itu. Tidak perlu jabatan terhormat untuk bisa memilikiku, cukup hati yang tulus
mencintaiku dan menerima segala kekuranganku. Fisik Reza memang tidak sempurna
karena kaki kanannya diamputasi tapi aku berjanji untuk selalu mendampinginya,
menjadi pengganti kaki kanannya selamanya, selagi aku mampu.
NB : "Lomba Cerpen Roman Majalah Annida"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar