Senin, 02 Juni 2014

Aku dan Kaki Kananmu



Malam ini hanya jadi pengulangan dari malam-malam sebelumnya, aku hanya tertunduk tak sanggup menatap mata nanar ayah yang seolah-olah menghakimiku dan telingaku sudah kebal mendengar suara tangis ibu yang tertahan tiap kali ayah membentakku. Suasana ini selalu membuat dadaku sesak, lidahku kelu, telingaku kebal, mataku nanar, dan kepalaku tertunduk lesu tapi tetap saja hati ini bagaikan baja yang sulit di tempa. Sifat keras kepalaku yang diturunkan dari ayah yang membuat aku mati-matian mempertahankan prinsipku.
“Sudah yang keberapa kali kamu menolak laki-laki yang datang untuk menikahimu nak?!” suara tegas ayah memecah keheningan malam. Ada sesuatu yang menusuk hatiku setiap mendengar ucapan yang sudah berulang-ulang kali ayah lontarkan kepadaku.
“Jawabanku tetap sama yah, aku tidak akan mau dinikahkan dengan lelaki yang jelas-jelas hanya melihatku dari fisik semata.” jawabku tak kalah tegas.
“Tolong kamu jangan keras kepala nak, apa kata orang nanti kalau kamu dikenal sebagai perempuan pemberi harapan palsu.” ibu yang sedari tadi hanya menangis sekarang ikut berkomentar.
“Aku tidak peduli dengan anggapan orang bu, namaku sudah terlalu jelek di masa lalu biarkan aku menanggungnya sampai akhir hayatku kalau perlu.”
“Sudahlah lupakan semua masa lalumu itu nak, sekarang kamu sudah memiliki semuanya, kamu cantik, pintar, sholeha, lulusan sarjana di luar negeri, dan sekarang menjadi dokter. Apakah kamu masih terus terganjal oleh masa lalumu yang orangpun sudah mulai melupakannya nak?” panjang lebar ibu mengulang kata-kata yang sama seperti sebelum-sebelumnya.” Lalu laki-laki seperti apa yang kamu inginkan?” tanya ibu mulai menyerah.
“Aku memang lebih beruntung diantara perempuan-perempuan yang lain bu, aku juga sadar kalau bukan karena umurku yang sudah tidak muda lagi, ayah dan ibupun tidak akan mendesakku seperti ini untuk cepat menikah. Tapi aku punya hati bu, aku bisa merasakan laki-laki yang tulus mencintaiku atau yang hanya melihatku dari kelebihan yang aku miliki sekarang. Aku hanya ingin ayah dan ibu merestuiku dengan cara yang tulus juga, bukan semata-mata merestuiku karena melihat kelebihan yang dimiliki laki-laki itu setara dengan apa yang aku miliki.” sekuat tenaga aku menjelaskan panjang lebar sambil menatap mata ibu. Mata perempuan yang mulai menua itu kini tidak lagi membulat, mendengar penjelasanku mata itu memancarkan betapa dia mengerti apa yang dikatakan putri semata wayangnya ini, kepalanya tertunduk, air matanya menetes membasahi pipi dan hijabnya.
“Baiklah, ayah dan ibu akan mengikhlaskan apapun keputusan kamu nak.” terbata-bata ibu mencoba mengatakan itu kepadaku sekaligus untuk menutup ketegangan malam itu. Ayah yang sedari tadi hanya menghakimiku dengan tatapannyapun seketika melemah.
Malam ini memang hanya menjadi pengulangan malam-malam sebelumnya, tapi tidak seperti biasanya ini menjadi malam yang terberat sekaligus melegakan bagiku, buru-buru aku memejamkan mata seraya berdoa dalam hati “Alhamdulillah ya Allah telah Engkau permudah urusanku dengan cara Engkau bukakan pintu hati kedua orang tuaku untuk menerima keputusanku. Pintaku hanya satu permudahkan aku untuk bertemu dengan jodohku yang mencintaiku karenaMu ya Rabb.” Semilir angin membawa butiran-butiran doaku melewati malam, menembus dimensi waktu yang tak ada satupun yang tahu kapan doa itu akan dikabulkan oleh Sang Maha Mengetahui.
***
Entah kenapa kenangan buruk di masa lalu itu tidak pernah pergi dari ingatanku sampai sekarang, hanya ragaku dan sebagian memoriku yang bisa melupakannya dengan cepat sampai aku bisa menatap masa depanku seperti ini, menjadi seorang wanita dewasa yang penuh kepercayaan diri dan mewujudkan cita-citaku menjadi seorang dokter. Dari luar aku memang terlihat nyaris sempurna tapi tidak ada yang pernah tahu kalau aku punya masa lalu yang kelam. Masa remajaku habis hanya untuk berhura-hura saja, menghamburkan harta milik kedua orang tuaku, keluar malam pulang pagi dengan teman-temanku, dan kejadian yang selalu menghantuiku sampai sekarang adalah aku hampir di setubuhi oleh temanku sendiri tapi Allah masih sayang kepadaku, aku berusaha berontak dan melarikan diri waktu itu, sehingga kehormatanku masih terjaga sampai detik ini. Bertahun-tahun aku hanya bisa mengurung diri di rumah memendam trauma yang amat sangat mendalam tapi orangtuaku tidak pernah lelah untuk membuatku kembali pulih seperti dulu dan mengembalikan kepercayaan diriku untuk menatap masa depan. Dan semua kejadian itu juga yang membuatku memutuskan untuk berhijab agar diriku terjaga dari segala bentuk kejahatan.
Setiap mengingat kejadian itu aku hanya ingin menyendiri, menenangkan hatiku, dan kembali belajar berdamai dengan masa laluku. Seperti biasa aku duduk di bangku taman rumah sakit, memandangi langit sore, menghirup wangi senja yang membuat hatiku damai yang seketika menjalar ke seluruh tubuhku.
“Mba lagi meditasi ya?” tiba-tiba ada seorang laki-laki yang duduk di sampingku, mencoba menebak apa yang sedang aku lakukan.
“Hmm iya mas, saya merasa tenang kalau duduk di sini.” jawabku jujur
“Setiap orang memang punya cara berbeda untuk menenangkan hatinya yang mencoba berdamai dengan masa lalu. Saya punya masa lalu yang kelam mba tapi jika ada seseorang yang tulus mencintai dan bisa menerima saya apa adanya, mungkin saat itu juga saya akan menikahinya hehehe.” Lelaki itu tertawa seperti ingin melepaskan semua beban di hatinya, matanya menerawang kelangit, wajahnya teduh, dan matanya memancarkan ketulusan. Mendengar kata-katanya hatiku bergetar, laki-laki itu seperti tahu dan merasakan hal yang sama seperti aku.
“Kalau ternyata seseorang itu punya masa lalu yang kelam sama seperti dengan mas bagaimana?” tanyaku penasaran.
“Hehehe ya tidak apa-apa mba, toh mencintai seseorang itu bukan hanya dari kelebihan yang di miliki tapi dari kekurangannya juga.” Dengan tenang laki-laki yang terlihat sepantaran denganku itu menjelaskan sambil tersenyum manis.
“Sepertinya saya sudah bicara ngawur sore ini, terima kasih mba sudah mendengarkan curahan hati saya, cukup merasa tenang berada di sini dengan mba hehehe.” Laki-laki itu pergi begitu saja meninggalkanku sendirian sore itu dengan banyak tanda tanya di dalam hati “Kenapa dia seolah-olah tahu apa yang aku rasakan saat ini? Dan kenapa hatiku bergetar ketika dia menjawab pertanyaanku dengan begitu tulusnya?”. Sejak kejadian sore itu, sesosok laki-laki yang tidak pernah aku kenal sebelumnya telah mencuri hatiku, membuatku gelisah setiap malam karena memikirkannya, membayangkan wajahnya yang tulus, dan merindukannya saat sore tiba.
***
Keringatku mengucur deras, jantungku berdegup kencang, mataku was-was sesekali menengok ruang UGD di rumah sakit tempatku bekerja. Sekitar satu jam yang lalu ada mobil ambulan yang datang, aku melihat dengan jelas sosok yang di keluarkan dari mobil ambulan itu, sosok laki-laki yang tidak asing buatku, dia meraung kesakitan sambil memegangi kaki kanannya yang berlumuran darah. Aku tidak sempat bertanya oleh salah satu perawat karena semuanya panik dan segera membawanya ke UGD tapi aku sangat yakin kalau laki-laki itu adalah yang menghampiriku sore itu di taman, dadaku sesak memikirkan kemungkinan buruk itu.
“Mas, bagaimana keadaan pasien di dalam? Lukanya serius?” aku tidak bisa menyembunyikan muka panikku saat bertanya dengan salah satu perawat yang baru keluar dari UGD.
“Oh dokter Sofi keluarga dari mas yang didalam? Kakinya harus diamputasi dok.”
“Bukan, saya bukan keluarganya. Di amputasi?” aku mecoba mengulang pertanyaan kalau-kalau aku salah dengar, tapi perawat itu mengaggukkan kepalanya dengan tegas. Hatiku remuk mendengarnya, kepalaku pusing, seketika badanku lemas tapi aku mencoba kuat untuk mengintip ke dalam ruang UGD untuk melihat laki-laki itu. Aku menangis sejadi-jadinya ketika ternyata dugaanku benar, laki-laki yang sedang terbaring lemah itu adalah laki-laki yang telah mencuri hatiku.
***
Aku memutuskan untuk kembali keesokan harinya setelah dilakukan operasi karena tidak mungkin dengan keadaan kritis aku menemuinya. Aku memberanikan diri untuk masuk ke ruang UGD dan sepertinya laki-laki itu sedang tertidur pulas dengan perban yang memenuhi kaki kanannya yang sekarang sudah tidak lagi utuh. Sekuat tenaga aku menahan sesak didadaku tapi air mataku tidak sanggup untuk menutupi semua rasa sedih ketika melihat dia terbaring lemah.
“Hmm mba yang waktu itu ya? Mba kenapa menangis?” ternyata suara tangisanku membangunkan dia. Dengan wajahnya yang terlihat menahan sakit dia tetap mencoba tersenyum kepadaku.
“Tidak apa-apa”, buru-buru aku menghapus air mataku. “Nama saya Sofi mas.”
“Oh iya nama saya Reza mba, ternyata mba Sofi seorang dokter ya.”
“Ah iya saya masih pakai seragam, iya saya dokter di sini, bagaimana keadaan mas reza? Kenapa bisa seperti ini?”
“Ya seperti yang mba Sofi lihat, saya mengalami kecelakaan dan kaki saya patah karena terlindas truk kemarin dan dokter sudah mengamputasi kaki saya. Bertambah satu lagi kekurangan saya mba, kaki kanan saya hilang hehe, seandainya ada yang mau menerima kekurangan saya...”
“Saya mau menerima kekurangan mas reza dan saya berjanji akan menjadi pengganti kaki kanan mas Reza untuk selamanya.” Belum sempat Reza meneruskan kata-katanya, aku dengan mantap mengutarakan perasaanku selama ini. “Sudah terlalu lama saya menunggu seseorang yang dengan tulus dan sore itu ada seorang laki-laki datang menghampiri saya, bercerita tentang hidupnya, sejak sore itu juga wajahnya yang tulus bisa meluluhkan hati saya.” Reza hanya bisa terdiam kaku menatapku, matanya berkaca-kaca saat aku berkata seperti itu.
“Mba Sofi serius berkata seperti itu? Mba Sofi mau mendampingi saya selamanya dengan segala kekurangan yang saya miliki?” Reza masih belum bisa menyembunyikan rasa kagetnya.
“Insya Allah mas dengan segala kekurangan yang saya miliki juga.” Reza tidak bisa lagi membendung air mata bahagianya, dia menangis sejadi-jadinya di hadapanku dan mengucapkan terima kasih.
Maha Suci Allah yang telah mengatur skenario kehidupan hambanya, setelah berkali-kali aku menolak banyak pria yang ingin menikahiku, pilihanku jatuh kepada Reza sesosok pria sederhana, langit senja yang langsung menyaksikan betapa hatiku sangat tersentuh oleh kata-katanya yang tulus saat itu. Tidak perlu jabatan terhormat untuk bisa memilikiku, cukup hati yang tulus mencintaiku dan menerima segala kekuranganku. Fisik Reza memang tidak sempurna karena kaki kanannya diamputasi tapi aku berjanji untuk selalu mendampinginya, menjadi pengganti kaki kanannya selamanya, selagi aku mampu.
NB : "Lomba Cerpen Roman Majalah Annida"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar